Laboratorium Sejarah FIB UNS Gelar Webinar Tanah Keprabon

Laboratorium Sejarah FIB UNS Gelar Webinar Tanah Keprabon

UNS — Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta melalui Laboratorium Sejarah FIB UNS kembali menggelar acara Webinar seri ke-4 secara daring melalui aplikasi Zoom Cloud Meeting pada Sabtu (5/6/2021). Webinar yang mengusung tema “Tanah Keprabon” tersebut menghadirkan Tri Wibisono, ST., MT sebagai pembicara dan Dr. Susanto, M.Hum sebagai pembahas.

Dilansir melalui media sosial resmi Laboratorium Sejarah FIB UNS, pemilihan tema Tanah Keprabon dilatarbelakangi oleh permasalahan tanah di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Permasalahan tanah tersebut muncul setelah wilayah Mataran terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Peristiwa tersebut memiliki kesinambungan dengan permasalahan tanah yang saat ini terjadi di Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan diskusi sejarah mengenai tanah keprabon berdasarkan perkembangan Yogyakarta sebagai daerah istimewa.

Menurut Perdais 1/ 2017 Pasal 6, 7, dan 8, tanah keprabon merupakan tanah yang digunakan Kasultanan maupun Kadipaten untuk bangunan Keraton dan Pura, upacara adat dan kelengkapannya. Meskipun demikian, Tri Wibisono selaku Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/BPN menyebutkan bahwa terdapat pula istilah Tanah Bukan/ Dede Keprabon yang juga diatur di dalam Perdais 1/ 2017.

Tanah Bukan/ Dede Keprabon terdiri dari beberapa kategori, di antaranya tanah desa yang asal usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten dengan hak Anggaduh, tanah yang telah digunakan oleh masyarakat/ institusi dan telah memiliki Serat Kekancingan, tanah yang telah digunakan oleh masyarakat/ institusi dan belum memiliki Serat Kekancingan, dan tanah yang belum digunakan.

Aturan mengenai kepemilikan tanah juga disinggung oleh Tri Wibisono yang menyampaikan tentang Rijksblad Kasultanan & Kadipaten. Isi dari Rijksblad Kasultanan dan Kadipaten menyatakan bahwa semua bumi yang tidak terbukti memiliki hak milik merupakan kepunyaan Ngayogyakarta.

“Pada masa pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DIY sendiri memposisikan diri sesuai dengan Perda Petunjuk Jawatan No. 3 Tahun 1950 yaitu sebagai tanah negeri yang ada dan kemudian ini yang menjadi persoalan sampai sekarang,” ujar Tri.

Selain itu, Tri Wibisono menuturkan perlunya penyamaan persepsi antara Pemerintahan DIY dengan Kementerian ATR/BPN tentang kepemilikan tanah bekas swapraja.

“Tanah keprabon masih menyisakan permasalahan-permasalahan pertanahan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta karena periode-periode tertentu ada dualisme, kalau tahun 60 seluruh Indonesia menggunakan Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) namun kenyataan di DIY belum menggunakan UUPA,” lanjut Tri.

Laboratorium Sejarah FIB UNS Gelar Webinar Tanah Keprabon

Sementara itu, Dr. Susanto selaku Kaprodi Ilmu Sejarah FIB UNS menyebutkan bahwa reorganisasi agraria yang terjadi pada tahun 1918 yang memunculkan Rijksblad Kasultanan & Kadipaten. Inti dari Rijksblad Kasultanan & Kadipaten adalah memberikan wewenang pengelolaan tanah desa untuk pihak birokrasi baru yang bernama kelurahan. Selain itu, Rijksblad Kasultanan & Kadipaten juga mengatur tentang pemberian hak kepada para petani untuk menggunakan tanah secara turun-temurun. Sementara kepemilikan tanah tetap dipegang oleh Raja.

“Sebetulnya yang menjadi tonggak sejarah pertanahan di Indonesia adalah Maklumat No. 18 Tahun 1946 karena hak-hak Sultan atas DIY semakin kuat setelah ada nama Istimewa dari satu pemerintahan baru yang disebut Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta,” tegas Dr. Susanto.

Pernyataan tersebut terkait dengan pembentukan DIY yang semula bernama Pemerintahan Daerah Yogyakarta. Humas UNS

Reporter: Alinda Hardiantoro
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content