Forum Mahasiswa Sejarah gelar Seminar Nasional dalam Sanskerta

Forum Mahasiswa Sejarah (FMS) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar seminar nasional dengan tema “Membentuk Kebudayaan Berkarakter Indonesia dalam Arus Global” dalam serangkaian acara Sanskerta (Semarak Sejarah Kebudayaan Sebelas Maret Surakarta). Seminar ini digelar pada Rabu (11/5/2016) di Auditorium UNS dengan menghadirkan Eko Sulistyo, Deputi Staf Kepresidenan Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi; Susanto, Dosen Ilmu Sejarah UNS sekaligus Sejarawan UNS; Suprapto Suryodarmo, Pendiri dan Pemilik Padepokan Lemah Putih; dan Wahyu Susilo, Founder NGO Migrant Care.

Seminar yang dimoderatori oleh Asti Kurniawati, Dosen Ilmu Sejarah FIB ini dilatarbelakangi karena problematika yang terjadi ketika globalisasi menandingi tradisi. Posisi sejarah sebagai guru kehidupan tentunya dapat menjadi akar budaya yang kuat bagi bangsa Indonesia. Diselenggarakannya acara ini sebagai upaya memasyarakatkan sejarah agar tidak kerap dianggap sebagai barang antik. Seperti dalam pidato Bung Karno saat memperingati HUT RI tahun 1966 yang terkenal dengan “Jasmerah”, artinya sebagai bangsa yang besar, jangan sampai kita meninggalkan sejarahnya.

(kiri-kanan) Asti Kurniawati, moderator seminar; Susanto, Dosen Ilmu Sejarah dan Sejarawan UNS; Suprapto Suryodarmo, pendiri dan pemilik Padepokan Lemah Putih; dan Wahyu Susilo, Founder NGO Migrant Carez dalam acara seminar nasional, Rabu (11/5/2016) di Auditorium UNS.
(kiri-kanan) Asti Kurniawati, moderator seminar; Susanto, Dosen Ilmu Sejarah dan Sejarawan UNS; Suprapto Suryodarmo, pendiri dan pemilik Padepokan Lemah Putih; dan Wahyu Susilo, Founder NGO Migrant Carez dalam acara seminar nasional, Rabu (11/5/2016) di Auditorium UNS.

“Sejarah memberikan data, ilmuwan menuliskan data tersebut, sehingga dari tulisan itu dapat digunakan untuk memperbaiki sejarah setelahnya dan dapat dijadikan sebagai pelajaran. Namun, banyak generasi muda saat ini yang melupakan sejarahnya. Sehingga saya berharap dengan adanya acara ini dapat membuat generasi muda mengetahui dan memahami sejarahnya. Karena kita di sini juga merupakan hasil sejarah dari para pendahulu,” terang Darsono selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UNS dalam pidato sambutannya.

“Kebudayaan bersifat dinamis, bergerak, selalu tumbuh, kadang-kadang perkembangannya di luar dugaan meski sudah ada acuan-acuannya. Dalam arus perubahan global, meski kita sudah memprediksi arah perubahannya, kebudayaan yang berkarakter Indonesia masih menjadi pertanyaan besar. Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah,” terang Suprapto.

Suprapto melanjutkan, bahwa museum mempunyai kontribusi dan peranan sebagai faktor pembentuk kebudayaan berkarakter Indonesia dalam arus global. Museum merupakan tempat penyimpanan peninggalan-peninggalan sejarah maupun miniatur. Namun, kenyataannya sekarang baik masyarakat maupun pemerintah kurang memperhatikan museum. Padahal sejatinya museum merupakan tempat yang dapat digunakan untuk merasakan nilai-nilai hidup dalam kesejarahan, dan sebagai tempat untuk merefleksikan sejarah masa lampau, sehingga dapat memberikan pelajaran.

“Sekarang sedang muncul fenomena baru dalam mengartikan lambang negara. Hal ini dikarenakan proses ludifikasi yang telah merasuki setiap budaya di seluruh dunia. Ludifikasi merupakan teori homo ludens, sedang homo ludens berarti makhluk bermain. Artinya, manusia merupakan makhluk yang sering bermain dan menaati aturan,” terang Susanto.

“Namun, kenyataannya sekarang ini banyak diri modern. Diri modern artinya, mereka memandang kekinian (tidak memperhatikan sejarah masa lampaunya—Red.) menjadi segalanya. Sehingga mereka bisa mempunyai nilai-nilai yang tidak baik dan tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Seperti saat sedang memberikan humor, ada beberapa humor yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada, ” lanjut Susanto.

“Sehingga kita lah di sini yang harus berperan aktif untuk memasukkan nilai-nilai arti sejarah dalam rangka membuat sejarah masa depan Indonesia dan kemanusian pada umumnya,” tutup Suprapto.[] (azaria.red.uns.ac.id)

Skip to content